Selamat Jalan, Engkau.

Bukan keluarga memang, tapi beliau selalu memperlakukanku layaknya seorang anak.
Bukan sahabat memang, tapi beliau selalu memberiku perhatian dan nasihat yang indah.

Andai ada status yang bisa menyatakan kedekatan lebih dari kedekatan antara keluarga ataupun sahabat, maka status itulah yang akan kuberikan kepadanya.

Pertemuan antara aku dan beliau memang tidaklah panjang. Singkat dan selalu hanya berlangsung sementara. Pertama kali aku dan keluargaku mengenal beliau, saat kami berada di Surabaya karena menemani Bapak melaksanakan tugas kantor. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas lima atau enam SD. Beliau lah yang selalu mengantarku dan keluarga menjelajahi dan menyusuri kota hiu dan buaya. Cara beliau mengemudikan mobil dinas dari kantor Bapak selalu membuat kami sekeluarga merasa nyaman dan aman.

Tak pernah sekalipun beliau menunjukkan rasa letih dan lelah saat mengantar kami kemana pun kami minta. Malahan, yang ada beliau selalu mengukir senyum dan tawa di wajahnya. Kumis tebal yang terdapat di atas bibirnya dan logat khas Madura yang selalu terdengar saat ia berbicara sama sekali tidak bisa membuat ia terlihat sangar dan garang. Tidak akan pernah bisa.

Tahun berganti tahun, mungkin ada sekitar lima sampai enam tahun yang telah terlewat semenjak terakhir kali aku dan keluargaku bertemu dengannya. Selama itu, aku dan keluarga tidak pernah lagi memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Surabaya. Hal itu tentunya menyebabkan kami tidak bisa lagi bertemu dengan beliau dalam kurun waktu yang lumayan lama.
Sampai akhirnya, entah ada angin apa, aku tak tahu apa Bapak yang menelpon beliau atau beliau yang menelpon Bapak terlebih dahulu, mereka berdua berbincang melalui telepon. Saling menanyakan kabar satu sama lain. Tentu saja beliau juga tidak lupa menanyakan kabar keluarga Bapak. Ya, tentu saja yang dimaksud adalah kabar Mama, Arin, aku, dan Dana. Saat itu, Bapak juga memberikan kami kesempatan satu per satu untuk berbincang dengan beliau. Telepon genggam Bapak digilir agar kami juga dapat menanyakan kabar beliau secara langsung. Semenjak saat itu, Bapak dan beliau menjadi lebih sering berkomunikasi, baik hanya sekadar mengirim pesan singkat ataupun menelpon, untuk tetap menjaga tali silaturahmi antara keluarga kami dengan beliau.

Tahun lalu, saat aku dinyatakan lulus di salah satu universitas negeri di kota Malang, Bapak tidak lupa mengabari beliau tentang kabar tersebut. Beliau menyambut gembira kabar dari Bapak tersebut. Entah sejak kapan, tapi yang aku tahu, beliau saat itu telah menetap di Bondowoso berasama keluarganya. Beliau menyambut gembira kabar bahwa aku akan melanjutkan pendidikan di kota Malang karena beliau merasa aku akan menjadi lebih dekat dengan beliau. Aku tak tahu jarak pastinya, yang jelas, Malang dan Bondowoso berada dalam satu provinsi, yaitu Jawa Timur.
Kemudian, saat aku dan Mama telah berada di Malang untuk mulai mengurus perkuliahanku, beliau menyempatkan diri mengunjungi kami di rumah kos yang dulu baru kutempati. Setelah sekitar enam tahun berlalu, akhirnya kami dapat bertemu lagi.
Tak banyak yang berubah dari beliau. Beliau tetap saja menjadi dirinya dengan kesederhanaan senyumnya dan keakraban tawanya. Sikapnya tetap saja ramah kepadaku dan Mama. Beliau tetap memperlakukanku dan Mama dengan baik, sangat baik malah. Pertemuan itu menjadi ajang nostalgia tentang masa-masa saat ia dahulu sering mengantarkan aku dan keluarga menyusuri Surabaya. Masa itu adalah salah satu kenangan masa kecilku yang tidak bisa kulupakan.

Semanjak pertemuan itu, beliau menjadi sering mengirimkanku pesan singkat walau terkadang hanya untuk sekadar memastikan apakah aku berada dalam keadaan baik-baik saja. Pesan singkat itu kira-kira ia kirimkan sebulan sekali. Dalam pesan singkat yang beliau kirim, terkadang beliau juga memberiku nasihat agar aku dapat bersungguh-sungguh menuntut ilmu di kota orang. Beliau ingin aku menjadi orang sukses. Beliau juga selalu memintaku memberitahukan kepadanya jika saja aku membutuhkan bantuan selama berada di Malang. Beliau melarangku sungkan dengan beliau.

Aku selalu membalas pesan singkat beliau dengan menyelipkan harapan yang sama, harapan bahwa beliau juga selalu dalam keadaan baik-baik saja. Tak lupa juga aku menitipkan salam kepada keluarganya dan aku juga mengucapkan terima kasih atas segala bentuk perhatian yang ia beri kepadaku. Perhatian yang lebih dari cukup.

Sampai pada suatu pagi di hari yang terang, hari yang kufikir akan kulalui dengan biasa-biasa saja, namun ternyata tidak, sebuah pesan singkat masuk kedalam kotak pesan ponselku. Aku membuka pesan singkat tersebut, membacanya, dan membuat hatiku menjadi remuk.
Tak kusangka isi pesan singkat yang kudapat adalah seperti ini:

20130918-131103.jpg

Biasanya, pesan singkat yang beliau kirimkan adalah pesan yang penuh dengan kasih sayang dan perhatian, pesan yang akan membuat hatiku merasa bahagia. Bukan pesan singkat seperti ini. Aku tahu pasti bukan beliau yang mengirimkan pesan itu. Beliau tidak akan pernah tega untuk mengirimkan pesan yang dapat meremukkan hatiku dan membuatku meneteskan air mata. Tanpa pikir panjang, kutelepon nomer ponsel beliau dengan segera. Aku menunggu beberapa saat sampai akhirnya suara seorang lelaki terdengar diseberang telepon, yang aku tahu pasti itu bukanlah suara beliau. Aku menanyakan kebenaran dari kabar yang terdapat di pesan yang baru saja aku terima, dan lelaki di seberang telepon dengan sigap membenarkan kabar itu. Hatiku semakin remuk.
Lelaki di seberang telepon berkata, awalnya beliau menderita sesak napas yang menyebabkan beliau harus dirawat secara intensif di ruang ICU. Beliau di rawat di ruang ICU selama empat hari sebelum akhirnya ajal menjemputnya pada hari Sabtu pagi tanggal 14 September 2013.

Kini, tidak akan ada lagi pesan singkat yang berisi doa, kasih sayang, dan nasihat yang beliau kirimkan untukku. Tak pernah kuduga pertemuan setahun lalu ternyata menjadi pertemuan terakhirku dengan beliau. Andai bisa lebih kumaknai pertemuan itu, andai bisa kuputar waktu kebelakang.
Kini, kuucapkan terima kasih dari lubuk hatiku yang terdalam kepada beliau. Beliau yang pada awalnya bukanlah siapa-siapa untukku, sampai akhirnya beliau menjadi orang yang begitu kusayangi dan kukasihi. Terima kasih atas segala doamu untukku, nasihatmu untukku, kasih sayangmu untukku. Harapanmu agar aku menjadi orang sukses, tentu saja akan kukabulkan suatu saat nanti. Janjiku padamu, tak kan kukecewakan kau atas segala harapmu padaku. Akan kubuat kau, di alam sana, tersenyum bangga melihatku memenuhi segala harapmu.

Terima kasih. Sungguh tak ada ungkapan lain yang dapat kusampaikan kepadamu selain terima kasih.
Aku berdoa segala yang terbaik untukmu. Engkau adalah orang yang sangat baik, sudah sepantasnya banyak orang yang akan mendoakanmu yang baik-baik pula. Aku berdoa agar Allah Subhanallahu wa Taala mengampuni segala dosa dan khilafmu, melapangkan kuburmu, memberikan cahaya terang dalam kuburmu, menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya, memasukkanmu ke dalam syurga-Nya, memberikan ketabahan dan kesabaran bagi keluarga yang engkau tinggalkan, dan segala yang terbaik lainnya untukmu.

Sekali lagi, kuucapkan terima kasihku kepadamu, Om Warno. Dan semoga suatu saat nanti kita dapat berkumpul bersama lagi di syurga-Nya.

Amin Ya Rabbal Alamin.

*Al-Fatihah*